DNR PROFIL

DNR  PROFIL

Pengelola sanggar seni dnr

Foto saya
kuningan, Jawa Barat, Indonesia
NAMA PANGGILAN Dede dnr, AGAMA Islam, SUKU Sunda,PEKERJAAN pns pada Dinas Pariwisata dan Kebudayan Kab Kuningan, TEMPAT TANGGAL LAHIR Bandung 2 Juli 1970 PENDIDIKAN Akademi Seni Tari Indonesia ( Bandung ),Sekolah Tinggi Seni Indonesia ( Denpasar ),ALAMAT jLN. R.E. Martadinata Sebelah Timur Kantor Bapeda no.1 Kuningan - Jawa Barat - Indonesia

Minggu, 17 Februari 2019

Minggu, 22 Agustus 2010

d223

Classical Degung

*
Pencarian:

*
Kategori
Uncategorized
*
Arsip
April 2009
*
Tautan
WordPress.com
WordPress.org


Musik Degung Sunda
21 April 2009, 4:52 am
Diarsipkan di bawah: Uncategorized | Tag: degung klasik, degung sunda, musik tradisi, musik tradisi indonesia, sunda

Musik Degung Klasik Sunda

oleh: Rachmat Herawan, S.Sn*
1. Asal Mula Musik Degung

Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “de gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung pengertian: penclon-penclon yang digantung[1]. Menurut Entjar Tjarmedi dalam bukunya Pangajaran Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah gong kecil yang biasanya digantung pada sebuah gantungan yang disebut dengan rancak. Menurut beliau istilah “gamelan Degung” diambil dari nama waditra tersebut, yang kini lebih dikenal dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).

Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain kamus H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst, Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa ketika kamus itu dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).

Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenai Perkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng (Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).

2. Istilah “Degung”

Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4))[2]. Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.

Dihubungkan dengan kirata basa[3], kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E.Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung “Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:

“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)

Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu musik Degung merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.

3. Struktur Waditra/Instrumen

Pada awal pemerintahan Dalem Haji[4] sebagai bupati Bandung, ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang, cecempres (saron/panerus), jengglong (degung), dan goong. Namun atas usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah Atma, para seniman musik Bandung yang sudah membentuk grup “Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919), perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang, dan suling. Usul ini disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada tanggal 18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung[5].

Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala RRI Bandung), ketika menggunakan musik Degung untuk mendukung gending karesmen[6] berjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab. Lalu pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Baru bahkan memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini tidak bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisional pada garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan suling yang masih bertahan sampai sekarang.

Dilihat dari bentuknya, waditra bonang, jenglong, dan goong berbentuk penclon, yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon (alat pukul) dengan sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra cecempres dan peking berbentuk wilahan (bilah), yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon dengan sub klasifikasi metalofon. Sementara waditra suling termasuk aerofon, dan kendang termasuk membranofon. Klasifikasi ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari teori Sachs/Hornbostel (1914:6)[7].

Banyaknya penclon pada waditra bonang biasanya antara 14 sampai dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da) terendah sebanyak 3 gembyang (oktaf). Penclon-penclon ini disusun di atas rancak (penyangga), dengan menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi) di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan dengan urutan nada pada laras (tangga nada) Degung[8]. Bonang bertugas sebagai pembawa melodi pokok yang merupakan induk dari semua waditra lainnya. Pangkat (intro) lagu Degung dimulai dari waditra ini.

Penclon pada waditra jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus (wilayah nada) yang lebih rendah dari bonang. Penclon-penclon ini digantung dengan tali pada rancak yang berbentuk tiang gantungan (lihat gambar 4 di belakang-kanan). Jenglong bertugas sebagai balunganing gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi bonang.

Gong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan goong (gong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak (lihat gambar 8 di belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain, sementara goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada gong sangat rendah, bertugas sebagai pengatur wiletan (birama) atau sebagai tanda akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu. Goong disebut juga sebagai pamuas lagu.

Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas rancak yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain. Cecempres bertugas sebagai rithm (patokan nada) yang menegaskan melodi bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan.

Adapun jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres, namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga sagembyang: kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari cecempres, yakni sebagai pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres dipukul tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih ber-improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanis lagu. Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan waditra tambahan.

Seperti halnya peking, waditra kendang dan suling juga merupakan tambahan. Pada awalnya kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti pada orkestra Barat. Namun permainan kendang pada lagu-lagu Degung sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini menyebabkan penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam permainan suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi kurang menikmati melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran peking, kendang, dan suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi apresiator yang belum pernah mendengar lagu-lagu Degung.

Bahan dasar pembuatan bonang, cecempres, peking, jenglong, dan goong yang paling baik kualitas suaranya adalah dari logam perunggu (campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang menggunakan bahan dasar logam kuningan dan besi. Namun kedua logam tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam perunggu[9]. Kualitas logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan terhadap cuaca.

4. Laras/Tangga Nada

Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengan tangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara satu nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak 1200 sen.

Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada musik Barat penomoran nada diatur naik dari nada rendah ke nada tinggi (berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).

Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog, laras salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras madenda/sorog, dan laras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan swarantara pada laras Degung.

Laras Degung:

Seperti pada laras Pelog, swarantara pada laras Degung dari nada yang satu ke nada berikutnya juga berbeda-beda. Namun laras Degung menurut Rd. Machjar merupakan keturunan dari laras Salendro, sehingga 1 gembyangnya dibagi menjadi 15 garis jarak, jadi masing-masing jaraknya adalah 1200/15 = 80 sen. Untuk lebih jelasnya perhatikan grafik berikut ini:

1 (da)














2 (mi)






























































3 (na)




















1 gembyang













= 1200 sen







4 (ti)














5 (la)






























































1 (da)


Keterangan:

Swarantara antar nada-nada pada laras Degung adalah sebagai berikut:

- Swarantara nada 1 (da) ke 2 (mi) adalah 80 sen.

- Swarantara nada 2 (mi) ke 3 (na) adalah 400 sen.

- Swarantara nada 3 (na) ke 4 (ti) adalah 240 sen.

- Swarantara nada 4 (ti) ke 5 (la) adalah 80 sen.

- Swarantara nada 5 (la) ke 1 (da) adalah 400 sen.

Namun beberapa tahun terakhir ini banyak peneliti yang mengkritisi teori Rd. Machjar, di antaranya adalah tulisan Heri Herdini pada Jurnal Seni STSI Bandung, Panggung, edisi XXXII yang berjudul “Peninjauan Ulang Terhadap Teori Laras dan Surupan Karya Raden Machjar Angga Koesoemadinata”. Tulisan itu merupakan hasil penelitian terhadap 52 alat musik yang terdiri dari 30 instrumen gamelan, 10 instrumen tarawangsa (rebab dan kacapi), 7 instrumen kacapi indung, dan 5 instrumen rebab. Penelitian ini dipimpin oleh Deni Hermawan dengan bantuan sponsor dari The Toyota Foundation.

Setelah dilakukan pengukuran frekuensi nada-nada pada gamelan, kacapi, dan rebab tersebut dengan menggunakan alat ukur frekuensi bernama Dual Channel Real-Time Frequency Analyzer tipe 2144, diperoleh data-data sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Data interval laras Degung, Madenda, dan Salendro

NO.


NAMA LARAS


SUSUNAN INTERVAL NADA

1


Laras Degung


1


2








3




4


5








1

99,65 398,64 199,31 99,65 398,64

2


Laras Madenda


3


4




5








1


2








3

99,72 199,31 398,66 99,65 398,65

3


Laras Salendro


1


2


3


4


5


1

249,11 249,14 199,31 249,13 249,14


Tabel 2.2.

Interval dari ketiga laras tersebut apabila dibulatkan menjadi:

NO.


NAMA LARAS


SUSUNAN INTERVAL NADA

1


Laras Degung


1


2








3




4


5








1

100 400 200 100 400

2


Laras Madenda


3


4




5








1


2








3

100 200 400 100 400

3


Laras Salendro


1


2


3


4


5


1

250 250 200 250 250


Dari data-data hasil penelitian tersebut, maka Herdini menarik kesimpulan sebagai berikut:

“Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa laras salendro yang sebenarnya adalah ‘bedantara’ dengan susunan interval 250 – 250 – 200 – 250 – 250. Dengan demikian, laras salendro padantara sebagaimana yang dinyatakan dalam teori laras Raden Machjar Angga Koesoemadinata sesungguhnya tidak ada. Kesimpulan kedua, pendapat Raden Machjar Angga Koesoemadinata tentang laras Degung dan madenda sebagai turunan dari laras salendro sesungguhnya perlu dipertanyakan dan dikaji ulang kembali, oleh karena interval 250 sen pada laras salendro bila dibagi oleh interval 100 sen pada laras Degung dan madenda tidak menghasilkan jumlah yang bulat. Dengan demikian, dilihat dari proses pembentukannya, laras Degung dan madenda merupakan laras yang mandiri bukan merupakan keturunan dari laras salendro.” (Herdini, 2004:65-66)

Pada kenyataannya sistem pelarasan dalam karawitan (musik) Sunda memang tidak ada yang persis sama. Kenyataan ini akan semakin terasa apabila kita mencoba membandingkan antara instrumen yang satu dengan lainnya, misalnya: antara laras goong renteng Embah Bandong desa Lebakwangi-Batukarut di Bandung selatan, berbeda dengan laras goong renteng Panggugah Manah desa Cigugur di Kuningan; antara kacapi indung Cianjuran dengan Jentreng Tarawangsa; antara gamelan Degung di Bandung dengan di Cirebon; dan sebagainya.

5. Pola Tabuhan

Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan bonangnya yang menggunakan teknik gumekan[10]. Pola tabuhan bonang inilah yang mewakili ekspresi melodi utama musik instrumental Degung seperti permainan piano pada musik klasik Barat[11]. Ketrampilan kedua tangan pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada orkestra ini.

Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik[12] menggunakan teknik dikemprang[13] atau dicaruk[14]. Namun teknik dicaruk lebih sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung, sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan.

Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau carukan pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah orkestra yang berbentuk instrumental dengan bonang sebagai ‘induk’nya, sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk sekar atau tarian.

6. Repertoar Degung

Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama, repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan bonang sebagai ekspresi melodi; kedua, repertoar Degung non klasik – oleh Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).

Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan[15] untuk mengiringi sekar, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang diisi rampak sekar (vokal grup).

Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, dan madakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra bonang. Eusi adalah melodi pokok yang merupakan isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.

Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la) rendah. Di dalam eusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.

Beberapa contoh repertoar Degung yang diciptakan oleh R.A.A. Koesoemahningrat V (Dalem Pancaniti: 1834-1868) dan R.A.A. Prawadiredja II (Dalem Bintang: 1868-1910) pada Album Serial Degung produksi PT. Gema Nada Pertiwi tahun 2002 adalah: 1) Mangari, 2) Maya Selas, 3) Lalayaran, 4) Palsiun, 5) Genye, 6) Paturay, 7) Ayun Ambing, 8) Sang Bango, 9) Paksi Tuwung, 10) Lambang, 11) Manintin, 12) Jipang Prawa, 13) Palwa, 14) Kadewan, 15) Banteng Wulung, 16) Beber Layar, 17) Kulawu, 18) Padayungan, 19) Ladrak, 20) Balenderan, 21) Papalayon, 22) Mangu-Mangu Degung, 23) Jipang Lontang, 24) Gegot, 25) Sulanjana, 26) Karang Mantri Kajineman, 27) Gunung Sari, 28) Banjaran, 29) Kunang-Kunang, 30) Celementre, 31) Renggong Buyut, dan 32) Senggot (Volume 1 s/d 7). Beberapa merupakan hasil recomposed (arransemen ulang) oleh Abah Idi[16].

Abah Idi dalam perjalanannya sebagai tokoh Degung awal abad XX, pernah membuat ciptaan asli (bukan recomposed), yakni: 1) Sangkuratu, 2) Duda, 3) Galatik Mangut, dan 4) Ujung Laut. Sementara Entjar Tjarmedi, sebagai salah seorang tokoh yang pernah ‘menyelamatkan’ Degung pada awal tahun 1950-an dengan siaran rutinnya di RRI Bandung, tercatat juga sebagai komposer repertoar Degung dengan lagu-lagu: 1) Kahyangan, 2) Layungsari, 3) Pajajaran, 4) Kidang Mas, 5) Lengser Midang, 6) Pulo Ganti, 7) Kajajaden, 8) Lambang Parahyangan, dan 9) Purbasaka. Nama-nama komposer lainnya yaitu: Abah Atma yang menciptakan lagu 1) Maya Selas dan 2) Paron; Abah Absar lagu 1) Karang Kamulyan dan 2) Hayam Sabrang; U. Tarya lagu 1) Seler Degung; Hj. Siti Rokayah lagu 1) Sinangling Degung.

Adapun repertoar non klasik/Degung Baru sangat banyak jumlahnya. Sangatlah tidak mungkin untuk dituliskan semuanya dalam paper ini. Namun sebagai sekedar contoh yang paling mewakili jenis tersebut adalah karya Nano S. dengan grup “Gentra Madya”nya berupa album kaset Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984), dan Kalangkang (1986) yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana.

Dari judul-judul repertoar musik Degung di atas (dalam bahasa Sunda), bisa kita lihat bahwa musik Degung hampir seluruhnya menggambarkan suasana alam pegunungan, apalagi setelah kita mendengarkan lagu-lagunya yang mengalun lembut. Namun sangat disayangkan, bahwa musik Degung pada zaman sekarang sudah jarang diminati oleh masyarakat Sunda sendiri, sehingga keasliannya terancam punah. Yang disebut musik Degung sekarang hanyalah waditra gamelannya, sedangkan lagu-lagunya kebanyakan sudah bukan lagu-lagu Degung klasik dalam bentuk musik intrumentalia lagi. Para pangrawit Degung juga kebanyakan adalah para pangrawit gamelan Pelog-Salendro.

[1] Disarikan dari situs www.westjava-indonesia.com/2004/thevoyage/cultural.

[2] Lihat Kurnia & Nalan (2003: 40); lihat juga Hermawan (2002: 57).

[3] Kirata dalam pengertian masyarakat Sunda adalah singkatan dari: dikira-kira tapi nyata.

[4] Julukan bagi R.A.A. Wiranatakusumah V.

[5] Lihat Tjarmedi (1974: 10); lihat juga Soepandi (1974: 8).

[6] Semacam opera (sandiwara) Sunda, yang terdiri dari nyanyian (sekar) dan permainan instrumen (gending).

[7] Lihat Herdini (1992: 47).

[8] Lihat pembahasan berikutnya tentang laras (tangga nada) Degung.

[9] Di Propinsi Jawa Barat bengkel (pabrik) gong terbesar dan tertua terdapat di daerah Pancasan – Kotamadya Bogor. Harga seperangkat gamelan Degung yang terbuat dari bahan perunggu ini berkisar antara 20 hingga 30 juta rupiah. Selain yang terbuat dari perunggu, ada juga perangkat gamelan Degung yang terbuat dari kuningan dengan harga 10 hingga 15 juta rupiah, atau besi dengan harga 5 hingga 10 juta rupiah. Harga-harga tersebut lengkap dengan rancak, satu set kendang, dan suling. Lamanya pembuatan berkisar antara satu minggu hingga sebulan (bergantung jenis pesanan) (hasil wawancara penulis ketika melakukan riset dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Seni di Jurusan Karawitan – STSI Bandung).

[10] Gumek adalah ketangkasan/keterampilan sahut menyahut antara tangan kanan dan kiri dalam memainkan bonang musik Degung Klasik (Soepandi, 1988: 70).

[11] Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena pengaruh hubungan dengan pemerintahan Belanda, yang di dalamnya pasti terkait juga aspek komunikasi para seniman Barat dengan seniman Sunda. Lihat Sumarsam (2003: bab 3).

[12] sejenis bonang dengan oktav lebih tinggi.

[13] Teknik dikemprang adalah suatu cara menabuh bonang dengan menggunakan kedua tangan dengan jarak satu gembyang. Umumnya tabuhan kemprangan jatuh pada ketukan ganjil (ke-1 dan ke-3).

[14] Teknik dicaruk adalah dua instrumen yang dipukul bersahutan, bila yang satu jatuh pada ketukan ganjil (ke-1 dan ke-3), maka yang lainnya jatuh pada ketukan genap (ke-2 dan ke-4).

[15] Kalimat lagu dengan motif-motif pendek dan berulang-ulang pada posisi nada tumbuk yang terpola sebagai koma dan titik.

[16] Sangat sulit menemukan rekaman repertoar Degung asli, karena teknologi rekaman pada saat itu baru sebatas piringan hitam. Tidak ada lembaga atau instansi yang masih menyimpannya. Kalaupun masih ada mungkin disimpan sebagai koleksi perorangan, dan ini sulit untuk dilacak (wawancara dengan Enip Sukanda dan pegawai RRI Bandung, pada kesempatan terpisah).

note: kontak penulis, *mamarahmat@gmail.com, Jurusan Karawitan STSI Bandung, atau 0818210303
1 Komentar

1 Komentar sejauh ini
Tinggalkan komentar

Punten nembe ngawaler, Ki! Tos lami teu muka, hilap passwordna. Eta seratan teu acan aya versi basa Sundana. Insya Allah ka payun urang pilari. Manawi Ki Harsono tiasa ngalihkeun kana basa Sunda? Kacida sim kuring atoh pisan. Hatur nuhun sateuacanna!
Komentar oleh degung2009 27 Agustus 2009 @ 12:22 am
Balas
dnr

देगुंग 22

Classical Degung

*
Pencarian:

*
Kategori
Uncategorized
*
Arsip
April 2009
*
Tautan
WordPress.com
WordPress.org


Musik Degung Sunda
21 April 2009, 4:52 am
Diarsipkan di bawah: Uncategorized | Tag: degung klasik, degung sunda, musik tradisi, musik tradisi indonesia, sunda

Musik Degung Klasik Sunda

oleh: Rachmat Herawan, S.Sn*
1. Asal Mula Musik Degung

Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “de gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung pengertian: penclon-penclon yang digantung[1]. Menurut Entjar Tjarmedi dalam bukunya Pangajaran Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah gong kecil yang biasanya digantung pada sebuah gantungan yang disebut dengan rancak. Menurut beliau istilah “gamelan Degung” diambil dari nama waditra tersebut, yang kini lebih dikenal dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).

Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain kamus H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst, Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa ketika kamus itu dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).

Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenai Perkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng (Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).

2. Istilah “Degung”

Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4))[2]. Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.

Dihubungkan dengan kirata basa[3], kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E.Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung “Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:

“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)

Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai etika sosial dan estetika dijunjung tinggi. Pada saat itu musik Degung merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.

3. Struktur Waditra/Instrumen

Pada awal pemerintahan Dalem Haji[4] sebagai bupati Bandung, ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang, cecempres (saron/panerus), jengglong (degung), dan goong. Namun atas usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah Atma, para seniman musik Bandung yang sudah membentuk grup “Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919), perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang, dan suling. Usul ini disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada tanggal 18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung[5].

Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala RRI Bandung), ketika menggunakan musik Degung untuk mendukung gending karesmen[6] berjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab. Lalu pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Baru bahkan memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini tidak bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisional pada garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan suling yang masih bertahan sampai sekarang.

Dilihat dari bentuknya, waditra bonang, jenglong, dan goong berbentuk penclon, yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon (alat pukul) dengan sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra cecempres dan peking berbentuk wilahan (bilah), yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon dengan sub klasifikasi metalofon. Sementara waditra suling termasuk aerofon, dan kendang termasuk membranofon. Klasifikasi ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari teori Sachs/Hornbostel (1914:6)[7].

Banyaknya penclon pada waditra bonang biasanya antara 14 sampai dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da) terendah sebanyak 3 gembyang (oktaf). Penclon-penclon ini disusun di atas rancak (penyangga), dengan menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi) di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan dengan urutan nada pada laras (tangga nada) Degung[8]. Bonang bertugas sebagai pembawa melodi pokok yang merupakan induk dari semua waditra lainnya. Pangkat (intro) lagu Degung dimulai dari waditra ini.

Penclon pada waditra jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus (wilayah nada) yang lebih rendah dari bonang. Penclon-penclon ini digantung dengan tali pada rancak yang berbentuk tiang gantungan (lihat gambar 4 di belakang-kanan). Jenglong bertugas sebagai balunganing gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi bonang.

Gong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan goong (gong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak (lihat gambar 8 di belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain, sementara goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada gong sangat rendah, bertugas sebagai pengatur wiletan (birama) atau sebagai tanda akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu. Goong disebut juga sebagai pamuas lagu.

Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas rancak yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain. Cecempres bertugas sebagai rithm (patokan nada) yang menegaskan melodi bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan.

Adapun jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres, namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga sagembyang: kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari cecempres, yakni sebagai pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres dipukul tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih ber-improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanis lagu. Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan waditra tambahan.

Seperti halnya peking, waditra kendang dan suling juga merupakan tambahan. Pada awalnya kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti pada orkestra Barat. Namun permainan kendang pada lagu-lagu Degung sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini menyebabkan penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam permainan suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi kurang menikmati melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran peking, kendang, dan suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi apresiator yang belum pernah mendengar lagu-lagu Degung.

Bahan dasar pembuatan bonang, cecempres, peking, jenglong, dan goong yang paling baik kualitas suaranya adalah dari logam perunggu (campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang menggunakan bahan dasar logam kuningan dan besi. Namun kedua logam tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam perunggu[9]. Kualitas logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan terhadap cuaca.

4. Laras/Tangga Nada

Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengan tangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara satu nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak 1200 sen.

Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada musik Barat penomoran nada diatur naik dari nada rendah ke nada tinggi (berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).

Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog, laras salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras madenda/sorog, dan laras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan swarantara pada laras Degung.

Laras Degung:

Seperti pada laras Pelog, swarantara pada laras Degung dari nada yang satu ke nada berikutnya juga berbeda-beda. Namun laras Degung menurut Rd. Machjar merupakan keturunan dari laras Salendro, sehingga 1 gembyangnya dibagi menjadi 15 garis jarak, jadi masing-masing jaraknya adalah 1200/15 = 80 sen. Untuk lebih jelasnya perhatikan grafik berikut ini:

1 (da)














2 (mi)






























































3 (na)




















1 gembyang













= 1200 sen







4 (ti)














5 (la)






























































1 (da)


Keterangan:

Swarantara antar nada-nada pada laras Degung adalah sebagai berikut:

- Swarantara nada 1 (da) ke 2 (mi) adalah 80 sen.

- Swarantara nada 2 (mi) ke 3 (na) adalah 400 sen.

- Swarantara nada 3 (na) ke 4 (ti) adalah 240 sen.

- Swarantara nada 4 (ti) ke 5 (la) adalah 80 sen.

- Swarantara nada 5 (la) ke 1 (da) adalah 400 sen.

Namun beberapa tahun terakhir ini banyak peneliti yang mengkritisi teori Rd. Machjar, di antaranya adalah tulisan Heri Herdini pada Jurnal Seni STSI Bandung, Panggung, edisi XXXII yang berjudul “Peninjauan Ulang Terhadap Teori Laras dan Surupan Karya Raden Machjar Angga Koesoemadinata”. Tulisan itu merupakan hasil penelitian terhadap 52 alat musik yang terdiri dari 30 instrumen gamelan, 10 instrumen tarawangsa (rebab dan kacapi), 7 instrumen kacapi indung, dan 5 instrumen rebab. Penelitian ini dipimpin oleh Deni Hermawan dengan bantuan sponsor dari The Toyota Foundation.

Setelah dilakukan pengukuran frekuensi nada-nada pada gamelan, kacapi, dan rebab tersebut dengan menggunakan alat ukur frekuensi bernama Dual Channel Real-Time Frequency Analyzer tipe 2144, diperoleh data-data sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Data interval laras Degung, Madenda, dan Salendro

NO.


NAMA LARAS


SUSUNAN INTERVAL NADA

1


Laras Degung


1


2








3




4


5








1

99,65 398,64 199,31 99,65 398,64

2


Laras Madenda


3


4




5








1


2








3

99,72 199,31 398,66 99,65 398,65

3


Laras Salendro


1


2


3


4


5


1

249,11 249,14 199,31 249,13 249,14


Tabel 2.2.

Interval dari ketiga laras tersebut apabila dibulatkan menjadi:

NO.


NAMA LARAS


SUSUNAN INTERVAL NADA

1


Laras Degung


1


2








3




4


5








1

100 400 200 100 400

2


Laras Madenda


3


4




5








1


2








3

100 200 400 100 400

3


Laras Salendro


1


2


3


4


5


1

250 250 200 250 250


Dari data-data hasil penelitian tersebut, maka Herdini menarik kesimpulan sebagai berikut:

“Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa laras salendro yang sebenarnya adalah ‘bedantara’ dengan susunan interval 250 – 250 – 200 – 250 – 250. Dengan demikian, laras salendro padantara sebagaimana yang dinyatakan dalam teori laras Raden Machjar Angga Koesoemadinata sesungguhnya tidak ada. Kesimpulan kedua, pendapat Raden Machjar Angga Koesoemadinata tentang laras Degung dan madenda sebagai turunan dari laras salendro sesungguhnya perlu dipertanyakan dan dikaji ulang kembali, oleh karena interval 250 sen pada laras salendro bila dibagi oleh interval 100 sen pada laras Degung dan madenda tidak menghasilkan jumlah yang bulat. Dengan demikian, dilihat dari proses pembentukannya, laras Degung dan madenda merupakan laras yang mandiri bukan merupakan keturunan dari laras salendro.” (Herdini, 2004:65-66)

Pada kenyataannya sistem pelarasan dalam karawitan (musik) Sunda memang tidak ada yang persis sama. Kenyataan ini akan semakin terasa apabila kita mencoba membandingkan antara instrumen yang satu dengan lainnya, misalnya: antara laras goong renteng Embah Bandong desa Lebakwangi-Batukarut di Bandung selatan, berbeda dengan laras goong renteng Panggugah Manah desa Cigugur di Kuningan; antara kacapi indung Cianjuran dengan Jentreng Tarawangsa; antara gamelan Degung di Bandung dengan di Cirebon; dan sebagainya.

5. Pola Tabuhan

Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan bonangnya yang menggunakan teknik gumekan[10]. Pola tabuhan bonang inilah yang mewakili ekspresi melodi utama musik instrumental Degung seperti permainan piano pada musik klasik Barat[11]. Ketrampilan kedua tangan pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada orkestra ini.

Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik[12] menggunakan teknik dikemprang[13] atau dicaruk[14]. Namun teknik dicaruk lebih sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung, sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan.

Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau carukan pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah orkestra yang berbentuk instrumental dengan bonang sebagai ‘induk’nya, sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk sekar atau tarian.

6. Repertoar Degung

Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama, repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan bonang sebagai ekspresi melodi; kedua, repertoar Degung non klasik – oleh Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).

Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan[15] untuk mengiringi sekar, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang diisi rampak sekar (vokal grup).

Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, dan madakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra bonang. Eusi adalah melodi pokok yang merupakan isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.

Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la) rendah. Di dalam eusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.

Beberapa contoh repertoar Degung yang diciptakan oleh R.A.A. Koesoemahningrat V (Dalem Pancaniti: 1834-1868) dan R.A.A. Prawadiredja II (Dalem Bintang: 1868-1910) pada Album Serial Degung produksi PT. Gema Nada Pertiwi tahun 2002 adalah: 1) Mangari, 2) Maya Selas, 3) Lalayaran, 4) Palsiun, 5) Genye, 6) Paturay, 7) Ayun Ambing, 8) Sang Bango, 9) Paksi Tuwung, 10) Lambang, 11) Manintin, 12) Jipang Prawa, 13) Palwa, 14) Kadewan, 15) Banteng Wulung, 16) Beber Layar, 17) Kulawu, 18) Padayungan, 19) Ladrak, 20) Balenderan, 21) Papalayon, 22) Mangu-Mangu Degung, 23) Jipang Lontang, 24) Gegot, 25) Sulanjana, 26) Karang Mantri Kajineman, 27) Gunung Sari, 28) Banjaran, 29) Kunang-Kunang, 30) Celementre, 31) Renggong Buyut, dan 32) Senggot (Volume 1 s/d 7). Beberapa merupakan hasil recomposed (arransemen ulang) oleh Abah Idi[16].

Abah Idi dalam perjalanannya sebagai tokoh Degung awal abad XX, pernah membuat ciptaan asli (bukan recomposed), yakni: 1) Sangkuratu, 2) Duda, 3) Galatik Mangut, dan 4) Ujung Laut. Sementara Entjar Tjarmedi, sebagai salah seorang tokoh yang pernah ‘menyelamatkan’ Degung pada awal tahun 1950-an dengan siaran rutinnya di RRI Bandung, tercatat juga sebagai komposer repertoar Degung dengan lagu-lagu: 1) Kahyangan, 2) Layungsari, 3) Pajajaran, 4) Kidang Mas, 5) Lengser Midang, 6) Pulo Ganti, 7) Kajajaden, 8) Lambang Parahyangan, dan 9) Purbasaka. Nama-nama komposer lainnya yaitu: Abah Atma yang menciptakan lagu 1) Maya Selas dan 2) Paron; Abah Absar lagu 1) Karang Kamulyan dan 2) Hayam Sabrang; U. Tarya lagu 1) Seler Degung; Hj. Siti Rokayah lagu 1) Sinangling Degung.

Adapun repertoar non klasik/Degung Baru sangat banyak jumlahnya. Sangatlah tidak mungkin untuk dituliskan semuanya dalam paper ini. Namun sebagai sekedar contoh yang paling mewakili jenis tersebut adalah karya Nano S. dengan grup “Gentra Madya”nya berupa album kaset Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984), dan Kalangkang (1986) yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana.

Dari judul-judul repertoar musik Degung di atas (dalam bahasa Sunda), bisa kita lihat bahwa musik Degung hampir seluruhnya menggambarkan suasana alam pegunungan, apalagi setelah kita mendengarkan lagu-lagunya yang mengalun lembut. Namun sangat disayangkan, bahwa musik Degung pada zaman sekarang sudah jarang diminati oleh masyarakat Sunda sendiri, sehingga keasliannya terancam punah. Yang disebut musik Degung sekarang hanyalah waditra gamelannya, sedangkan lagu-lagunya kebanyakan sudah bukan lagu-lagu Degung klasik dalam bentuk musik intrumentalia lagi. Para pangrawit Degung juga kebanyakan adalah para pangrawit gamelan Pelog-Salendro.

[1] Disarikan dari situs www.westjava-indonesia.com/2004/thevoyage/cultural.

[2] Lihat Kurnia & Nalan (2003: 40); lihat juga Hermawan (2002: 57).

[3] Kirata dalam pengertian masyarakat Sunda adalah singkatan dari: dikira-kira tapi nyata.

[4] Julukan bagi R.A.A. Wiranatakusumah V.

[5] Lihat Tjarmedi (1974: 10); lihat juga Soepandi (1974: 8).

[6] Semacam opera (sandiwara) Sunda, yang terdiri dari nyanyian (sekar) dan permainan instrumen (gending).

[7] Lihat Herdini (1992: 47).

[8] Lihat pembahasan berikutnya tentang laras (tangga nada) Degung.

[9] Di Propinsi Jawa Barat bengkel (pabrik) gong terbesar dan tertua terdapat di daerah Pancasan – Kotamadya Bogor. Harga seperangkat gamelan Degung yang terbuat dari bahan perunggu ini berkisar antara 20 hingga 30 juta rupiah. Selain yang terbuat dari perunggu, ada juga perangkat gamelan Degung yang terbuat dari kuningan dengan harga 10 hingga 15 juta rupiah, atau besi dengan harga 5 hingga 10 juta rupiah. Harga-harga tersebut lengkap dengan rancak, satu set kendang, dan suling. Lamanya pembuatan berkisar antara satu minggu hingga sebulan (bergantung jenis pesanan) (hasil wawancara penulis ketika melakukan riset dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Seni di Jurusan Karawitan – STSI Bandung).

[10] Gumek adalah ketangkasan/keterampilan sahut menyahut antara tangan kanan dan kiri dalam memainkan bonang musik Degung Klasik (Soepandi, 1988: 70).

[11] Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena pengaruh hubungan dengan pemerintahan Belanda, yang di dalamnya pasti terkait juga aspek komunikasi para seniman Barat dengan seniman Sunda. Lihat Sumarsam (2003: bab 3).

[12] sejenis bonang dengan oktav lebih tinggi.

[13] Teknik dikemprang adalah suatu cara menabuh bonang dengan menggunakan kedua tangan dengan jarak satu gembyang. Umumnya tabuhan kemprangan jatuh pada ketukan ganjil (ke-1 dan ke-3).

[14] Teknik dicaruk adalah dua instrumen yang dipukul bersahutan, bila yang satu jatuh pada ketukan ganjil (ke-1 dan ke-3), maka yang lainnya jatuh pada ketukan genap (ke-2 dan ke-4).

[15] Kalimat lagu dengan motif-motif pendek dan berulang-ulang pada posisi nada tumbuk yang terpola sebagai koma dan titik.

[16] Sangat sulit menemukan rekaman repertoar Degung asli, karena teknologi rekaman pada saat itu baru sebatas piringan hitam. Tidak ada lembaga atau instansi yang masih menyimpannya. Kalaupun masih ada mungkin disimpan sebagai koleksi perorangan, dan ini sulit untuk dilacak (wawancara dengan Enip Sukanda dan pegawai RRI Bandung, pada kesempatan terpisah).

note: kontak penulis, *mamarahmat@gmail.com, Jurusan Karawitan STSI Bandung, atau 0818210303
1 Komentar

1 Komentar sejauh ini
Tinggalkan komentar

Punten nembe ngawaler, Ki! Tos lami teu muka, hilap passwordna. Eta seratan teu acan aya versi basa Sundana. Insya Allah ka payun urang pilari. Manawi Ki Harsono tiasa ngalihkeun kana basa Sunda? Kacida sim kuring atoh pisan. Hatur nuhun sateuacanna!
Komentar oleh degung2009 27 Agustus 2009 @ 12:22 am
Balas
dnr

Minggu, 08 Agustus 2010

Goong renteng
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari
Goong Renteng merupakan salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang sudah cukup tua. Paling tidak, goong renteng sudah dikenal sejak abad ke-16, dan tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat. Menurut Jaap Kunst (1934:386), goong renteng dapat ditemukan di Cileunyi dan Cikebo (wilayah Tanjungsari, Sumedang), Lebakwangi (wilayah Pameungpeuk, Bandung), dan Keraton Kanoman Cirebon. Selain itu, goong renteng juga terdapat di Cigugur (Kuningan), Talaga (Majalengka), Ciwaru (Sumedang), Tambi (Indramayu), Mayung, Suranenggala, dan Tegalan (Cirebon).
[sunting] Bentuk kesenian
Istilah "goong renteng" merupakan perpaduan dari kata "goong" dan "renteng". Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang (bonang) yang diletakkan secara berderet/berjejer, atau ngarenteng dalam bahasa Sunda. Jadi, secara harfiah goong renteng adalah goong (pencon) yang diletakkan/disusun secara berderet (ngarenteng).
Goong renteng memiliki dua macam laras; ada yang berlaras salendro dan ada yang berlaras pelog. Peralatannya terdiri dari kongkoang, cempres, paneteg, dan goong. Kongkoang (alat musik berpencon), cempres (alat musik bilah), dan goong diklasifikasikan sebagai idiofon; sementara paneteg (semacam kendang) diklasifikasikan sebagai membranofon. Ditinjau dari cara memainkannya, kongkoang, cempres, dan goong diklasifikasikan sebagai alat pukul; sedangkan paneteg sebagai alat tepuk. Dalam ensambel, kongkoang dan cempres berfungsi sebagai pembawa melodi, kendang sebagai pembawa irama, dan goong sebagai penutup lagu atau siklus lagu.
Repertoar pada goong renteng pada umumnya tidak bertambah. Lagu-lagu pada Goong Renteng Embah Badong di Lebakwangi – Batukasut, Bandung; Goong Renteng Panggugah Manah di Sukamulya, Kuningan; dan Goong Renteng Talagamanggung di Majalengka (bahkan tidak pernah di tabuh lagi), lagu-lagunya masih tetap itu-itu juga.
Secara fisik, goong renteng mempunyai kemiripan dengan gamelan degung, tetapi dalam hal usia, goong renteng dianggap lebih tua keberadaannya daripada degung, sehingga ada yang menduga bahwa gamelan degung merupakan pengembangan dari goong renteng. Mungkin karena ketuaannya, pada umumnya goong renteng sekarang dianggap sebagai gamelan keramat, sehingga pemeliharaannya diperlakukan khusus secara adat (ritual; kepercayaan). Kelengkapan waditra gamelan renteng tidak sama di setiap tempat, demikian pula lagu-lagunya.
[sunting] Fungsi sosial
Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada masyarakat dulu belum diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat gamelan itu dibersihkan, misalnya pada goong renteng Embah Bandong ketika digunakan untuk memeriahkan acara Muludan (peringatan hari lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan acara ngebakan (memandikan; membersihkan) pusaka-pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu bukti bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, di samping adanya keanehan lain yang berbau mistik.
Dulu, goong renteng biasa pula digunakan untuk memeriahkan pesta-pesta kenegaraan di kabupaten. Goong renteng Embah Bandong ditabuh pada acara Congres Java Instituut (17 Juni 1921) di Bandung. Pada 4 Juli 2001, gamelan pusaka ini digunakan untuk memeriahkan hajatan khitanan. Goong renteng di daerah Indramayu secara tradisi biasa dipakai pada satu hari sebelum hari hajatan, ketika orang sibuk bekerja untuk persiapan hajatan. Ini sebagai tanda bahwa besok pagi merupakan hari puncak hajatan. Lagu-lagunya ada yang berfungsi khusus, misalnya lagu Wong Miang Ngangsu digunakan ketika orang-orang mengambil air ke sungai atau sumur, lagu Mususi Beras digunakan ketika wanita-wanita mencuci beras, lagu Rimpang-rimpung digunakan jika hajat diselenggarakan secara besar-besaran, sampai memotong kerbau. Di samping penyajian lagu-lagu (instrumental), tarian kuda lumping juga ikut memeriahkan hajatan, diiringi dengan goong renteng ini. Pada upacara adat Ngunjung di astana Buyut Tambi, goong renteng Cinangnang ditabuh untuk penyambutan tamu. Goong renteng Ciwaru lagu-lagunya seringkali diibingan (memakai tarian).
Goong renteng sampai sekarang tidak populer. RRI, TVRI, dan radio swasta tidak pernah berusaha memperkenalkan dan mempopulerkannya. Oleh karena itu goong renteng sebagai gamelan khas Sunda kini hampir tidak dikenal oleh orang Sunda sendiri jika bukan oleh pengurus atau orang kampung, tempat gamelan tersebut berada.
[sunting] Sumber rujukan
Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Goong_renteng"
Kategori: Seni di Indonesia

dnr

Rabu, 28 Juli 2010

WaYaNg


wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animism menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala (masih ingat lakon ’sudamala’, kan?)
di tahun (898 – 910) M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (terjemahan kasaran-nya kira-kira begini : menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M

mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga
sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti ‘kertas jawi’ ini ) dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian
masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’

abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ’sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mythos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . . )

gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan

sunan kudus kebagian tugas men-dalang ’suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan (joan crawford pun mestinya bayar royalti pada dia, nih !)
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja

sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan jaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata : raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain

di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang

panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru : cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk)

setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ (catatan hms : mungkinkah ini ada kaitannya dengan berdirinya voc di tahun 1602 ? ) berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi
mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari )





ReoG PonoRoGo...

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya . Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya .
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlak





KeSenian LudRuk



Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Saat ini kelompok ludruk tradisional dapat dijumpai di daerah Surabaya, Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya semakin dikalahkan dengan modernisasi.
Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkotan, etc). Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan pementasan seorang tokoh yang memerakan "Pak Sakera", seorang jagoan Madura.

Sejarah Ludruk :
Pada tahun 1994 , group ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka main di
desa desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh 50 . 60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu: Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan di desa.

Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat sebanyak 594 group. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 group (84/85), 771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan tidak lebih dari 500 group karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima group.

Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat jawa timur sejak tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malan dengan rajanya Gjayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.

Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Kita tidak punya data yang memadai untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama, tetapi saudara hendricus Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.

Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair syair dan tabuhan sederhana, pak Santik berteman dengan pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata .Wong Lorek.. Akibat variasi dalam bahasa maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok.

Periode Lerok Besud (1920 . 1930)
Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton. Dalam perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat yang lain.
Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembalah akronim Mbekta maksud arinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan.

Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)
Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak bermunculan ludruk di daerah jawa timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk.
Sezaman dengan masa perjuangan dr Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai Indonesia raya, pada tahun 1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan Kemerdekaan, dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro., cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang.

Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa ini Ludruk yang terkenal adalah Marhaen milik Partai Komunis Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pembrontakan. Peristiwa madiun 1948 dan G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan PKI.
Ludruk benar benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana negara sampai 16 kali , hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk ini lebih condong ke kiri sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar.

Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 . saat ini)
Peristiwa G30S PKI benar benar memperak perandakan grup grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI.Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu muncullah kebijaksanaan baru menyangkut grup grup ludruk di Jawa Timur. Peleburan ludruk dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-

Diberbagai daerah ludruk ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini.

Dengan pengalaman pahit yang pernah dirasakan akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian yang menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar benar menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup sandiwara Lawak. dnr

पेंकाक सिलत कूदा lumping

Pencak Silat

encak Silat sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia berkembang sejalan dengan sejarah masyarakat Indonesia. Dengan aneka ragam situasi geografis dan etnologis serta perkembangan zaman yang dialami oleh bangsa Indonesia, Pencak Silat dibentuk oleh situasi dan kondisinya. Kini Pencak Silat kita kenal dengan wujud dan corak yang beraneka ragam, namun mempunyai aspek-aspek yang sama. Pencak Silat merupakan unsur-unsur kepribadian bangsa Indonesia yang dimiliki dari hasil budi daya yang turun temurun. Sampai saat ini belum ada naskah atau himmpunan mengenai sejarah pembelaan diri bangsa Indonesia yang disusun secara alamiah dan dapat dipertanggung jawabkan serta menjadi sumber bagi pengembangan yang lebih teratur. Hanya secara turun temurun dan bersifat pribadi atau kelompok latar belakang dan sejarah pembelaan diri inti dituturkan. Sifat-sifat ketertutupan karena dibentuk oleh zaman penjajahan di masa lalu merupakan hambatan pengembangan di mana kini kita yang menuntut keterbukaan dan pemassalan yang lebih luas. Sejarah perkembangan Pencak Silat secara selintas dapat dibagi dalam kurun waktu

PENCAK SILAT SEBAGAI SENI

Ciri khusus pada Pencak Silat adalah bagian kesenian yang di daerah-daerah tertentu terdapat tabuh iringan musik yang khas. Pada jalur kesenian ini terdapat kaidah-kaidah gerak dan irama yang merupakan suatu pendalaman khusus (skill). Pencak Silat sebagai seni harus menuruti ketentuan-ketentuan, keselarasan, keseimbangan, keserasian antara wirama, wirasa dan wiraga.

Di beberapa daerah di Indonesia Pencak Silat ditampilkan hampir semata-mata sebagai seni tari, yang sama sekali tidak mirip sebagai olahraga maupun bela diri. Misalnya tari serampang dua belas di Sumatera Utara, tari randai di Sumatera Barat dan tari Ketuk Tilu di Jawa Barat. Para penari tersebut dapat memperagakan tari itu sebagai gerak bela diri yang efektif dan efisien untuk menjamin keamanan pribadi.




CARA MEMPERDALAM ILMU

cara sederhana bila ingin mulai memperdalam ilmu SHBanyak Warga yang merasa "kosong" setelah disahkan menjadi warga karena merasa ingin mendalami ilmu SH tetapi tidak ada yang membimbing. Tetapi sesungguhnya ilmu itu berada di mana saja, dan bisa didapat dimana saja. "Ilmu tinemu soko laku" begitu kata orang jawa. Jadi ilmu tidak bisa didapat kalau kita cuma menunggu. Dan ilmu tidak seslalu didapat dari guru, kata orang "pengalaman adalah guru terbaik", itu benar. Berikut cara sederhana bila ingin mulai memperdalam ilmu SH:1. Aktif dalam organisasi. Aktiflah di komisariat, ranting, dan cabang. Bisa sebagai pelatih, atlit, atau pengurus organisasi (terutama di komisariat, butuh orang yang rela mengorbankan waktu dan tenaga untuk mengurus UKM). Jangan merasa kita orang SH Terayte tetapi kita tidak bersedia mengorbankan waktu dan tenaga atau materi bagi SH Terate. Aktifnya kita di SH Terate akan membuat kita banyak berhubungan dengan orang-orang SH yang lain, sehingga tukar-menukar pikiran, diskusi dan saling sharing akan menambah wawasan kita mengenai SH Terate. 2. Jangan berhemti belajar. Jangan merasa cukup dengan apa yang ada. Belajarlah. Kalau anda aktif melatih sisiwa, jangan hanya monoton menggunakan metode yang ada. Pelajari, belajar, diskusi dengan komisariat/ranting lain yang lebih sukses mendidik siswa. Dan jangan hanya mentransfer secara mentah jurus dan senam yang dulu diberikan, pejari dengan benar faedah dan makna setiap gerakan. Demikian juga bila anda atlit, gunakan berbagai kesempatan untuk berdiskusi dengan orang lain yang lebih sukses. Jangan pernah malu untuk belajar, jangan menutup diri dengan anggapan pribadi bahwa warga mesti tahu segalanya. 3. Kritisi Organisasi kita ini. SH Terate memang organisasi yang besar, namun sesungguhnya masih banyak kekurangan. SH Terate bisa berkembang dengan lebih baik lagi dan itu membuthkan sumbangsih pemikiran kita. Kritisi dengan disiplin ilmu anda sendiri bagaimana seharusnya SH Terate itu. Jangan takut untuk berbeda dengan yang lain, dan jangan terlena dengan besarnya massa dalam organsiasi kita.Insya Allah kita akan mendapatkan ilmu itu, bahkan sedikit demi sedikit tanpa kita sadari kita akan mendapatkan banyak ilmu hanya dengan ngurusi SH Terate.Bhkan ilmu ini tidak hanya berlaku dalam SH Terate tetapi dapat kita manfaatkan dalam berorganisasi di tempat lain, dalam kuliah, belajar, dsb. perjalanan 1000 langkah mulai dari satu langkah, bukan?


......

Jumat, 26 Maret 2010

केसेनियन केसेसेनियन kuningan

डाटा केसेनियन दी kuningan
Sebagai wilayah yang berada di daerah Priangan timur, kabupaten Kuningan kaya akan seni budaya Sunda yang khas, berbeda dari wilayah Sunda bagian barat. Berikut adalah seni budaya yang berkembang ditengah-tengah masyarakat Kabupaten Kuningan:
Tabel Seni dan Budaya di wilayah Kabupaten Kuningan
Jenis Seni Budaya Tradisional Lokasi

1 Cingcowong,Upacara minta hujan Kecamatan Luragung landeuh pim. ibu Nawita Kuningan
2 Sintren Kecamatan Cibingbin dukuh badak pimpinan pak Udin Kuningan
3 Goong Renteng Kelurahan Sukamulya
4 Tayuban Kecamatan Ciniru, Kuningan
5 Pesta Dadung Kecamatan Subang, Kuningan
6 Gembyung Terbangan ancaran kuningan
7 Sandiwara Rakyat tersebar di kacamatan kuningan
8 Wayang Golek tersebar
9 Kuda Lumping winduhaji dan citangtu kuningan
10 Reog Desa Cengal
11 Calung kadu gede kuningan
12 Tradisi Kawin Cai Kecamatan Jalaksana, Kuningandnr dnr

kuda lumping


Kuda lumping
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Tarian kuda lumping saat festival di Yogyakarta.
Atraksi memakan kaca di beberapa pertunjukan kuda lumping.

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Malaysia dan Singapura.

Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
[sunting] Sejarah

Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa, tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.

Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
[sunting] Variasi Lokal

Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.

Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari kuda lumping cukup sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta.

Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.
[sunting] Pagelaran Tari Kuda Lumping

Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.

Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.

Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.

Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.

Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.dnr

calung

Calung
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).

Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

== Calung Rantay == Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
[sunting] Calung Jingjing

Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.
[sunting] Perkembangan

Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.

Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.dnr

Kamis, 25 Maret 2010

गोंग renteng


Goong renteng

Goong Renteng merupakan salah satu jenis gamelan khas masyarakat Sunda yang sudah cukup tua. Paling tidak, goong renteng sudah dikenal sejak abad ke-16, dan tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat.

Menurut Jakob Kunst (1934:386), goong renteng dapat ditemukan di Cileunyi dan Cikebo (wilayah Tanjungsari, Sumedang), Lebakwangi (wilayah Pameungpeuk, Bandung), dan Keraton Kanoman Cirebon. Selain itu, goong renteng juga terdapat di Cigugur (Kuningan), Talaga (Majalengka), Ciwaru (Sumedang), Tambi (Indramayu), Mayung, Suranenggala, dan Tegalan (Cirebon).
Bentuk kesenian

Istilah "goong renteng" merupakan perpaduan dari kata "goong" dan "renteng". Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang (bonang) yang diletakkan secara berderet/berjejer, atau ngarenteng dalam bahasa Sunda. Jadi, secara harfiah goong renteng adalah goong (pencon) yang diletakkan/disusun secara berderet (ngarenteng).

Goong renteng memiliki dua macam laras; ada yang berlaras salendro dan ada yang berlaras pelog. Peralatannya terdiri dari kongkoang, cempres, paneteg, dan goong. Kongkoang (alat musik berpencon), cempres (alat musik bilah), dan goong diklasifikasikan sebagai idiofon; sementara paneteg (semacam kendang) diklasifikasikan sebagai membranofon. Ditinjau dari cara memainkannya, kongkoang, cempres, dan goong diklasifikasikan sebagai alat pukul; sedangkan paneteg sebagai alat tepuk. Dalam ensambel, kongkoang dan cempres berfungsi sebagai pembawa melodi, kendang sebagai pembawa irama, dan goong sebagai penutup lagu atau siklus lagu.

Repertoar pada goong renteng pada umumnya tidak bertambah. Lagu-lagu pada Goong Renteng Embah Badong di Lebakwangi – Batukasut, Bandung; Goong Renteng Panggugah Manah di Sukamulya, Kuningan; dan Goong Renteng Talagamanggung di Majalengka (bahkan tidak pernah di tabuh lagi), lagu-lagunya masih tetap itu-itu juga.

Secara fisik, goong renteng mempunyai kemiripan dengan gamelan degung, tetapi dalam hal usia, goong renteng dianggap lebih tua keberadaannya daripada degung, sehingga ada yang menduga bahwa gamelan degung merupakan pengembangan dari goong renteng. Mungkin karena ketuaannya, pada umumnya goong renteng sekarang dianggap sebagai gamelan keramat, sehingga pemeliharaannya diperlakukan khusus secara adat (ritual; kepercayaan). Kelengkapan waditra gamelan renteng tidak sama di setiap tempat, demikian pula lagu-lagunyA

Fungsi sosial

Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada masyarakat dulu belum diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat gamelan itu dibersihkan, misalnya pada goong renteng Embah Bandong ketika digunakan untuk memeriahkan acara Muludan (peringatan hari lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.) dan acara ngebakan (memandikan; membersihkan) pusaka-pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu bukti bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, di samping adanya keanehan lain yang berbau mistik.

Dulu, goong renteng biasa pula digunakan untuk memeriahkan pesta-pesta kenegaraan di kabupaten. Goong renteng Embah Bandong ditabuh pada acara Congres Java Instituut (17 Juni 1921) di Bandung. Pada 4 Juli 2001, gamelan pusaka ini digunakan untuk memeriahkan hajatan khitanan. Goong renteng di daerah Indramayu secara tradisi biasa dipakai pada satu hari sebelum hari hajatan, ketika orang sibuk bekerja untuk persiapan hajatan. Ini sebagai tanda bahwa besok pagi merupakan hari puncak hajatan. Lagu-lagunya ada yang berfungsi khusus, misalnya lagu Wong Miang Ngangsu digunakan ketika orang-orang mengambil air ke sungai atau sumur, lagu Mususi Beras digunakan ketika wanita-wanita mencuci beras, lagu Rimpang-rimpung digunakan jika hajat diselenggarakan secara besar-besaran, sampai memotong kerbau. Di samping penyajian lagu-lagu (instrumental), tarian kuda lumping juga ikut memeriahkan hajatan, diiringi dengan goong renteng ini. Pada upacara adat Ngunjung di astana Buyut Tambi, goong renteng Cinangnang ditabuh untuk penyambutan tamu. Goong renteng Ciwaru lagu-lagunya seringkali diibingan (memakai tarian).

Goong renteng sampai sekarang tidak populer. RRI, TVRI, dan radio swasta tidak pernah berusaha memperkenalkan dan mempopulerkannya. Oleh karena itu goong renteng sebagai gamelan khas Sunda kini hampir tidak dikenal oleh orang Sunda sendiri jika bukan oleh pengurus atau orang kampung, tempat gamelan tersebut berada.
SANGGAR SENI DNRdnr